Kakak Sang Perancang Masa Depan
Cover Cerpen Kakak Sang Perancang Masa Depan |
“Niva, apakah kamu tahu, kalau tumbuhan putri malu itu mengkuncup saat malam hari?” Tanya seorang laki-laki yang berumur 21 tahun kepada adiknya sambil terlentang di kasur yang bermotif bunga-bunga. “Benarkah, apakah tumbuhan itu juga tidur saat malam hari, Kak?” Tanya adiknya menyambung pembahasan tersebut. “Apakah tumbuhan itu juga sikat gigi sebelum tidur?” tambah adik yang bertanya lagi kepada sang kakak sambil memeluk sebuah boneka kecil dan memandang kakaknya.
EPISODE 1 “OBROLAN MALAM”
“Hemmm…mungkin” jawab sang kakak pada adik perempuannya yang berumur 5 tahun.
“Apakah duri-duri itu gigi mereka, kak?” tanya adiknya lagi.
“Tidak Niva, gigi bunga putri malu adalah akarnya.” jelas sang kakak.
“Ooo…benarkah?” jawab sang adik dengan wajah polosnya yang sangat imut.
“Niva, kamu belum mengantuk?” Tanya sang kakak pada adiknya agak berbisik.
“Belum!” Jawab sang adik dengan singkat.
“Kakak kan sudah bercerita dari 2 jam yang lalu, kenapa kamu belum mengantuk?” Tanya sang kakak dengan nada putus asa untuk menidurkan sang adik.
“Cerita kakak bagus!” Ujar sang adik dengan tersenyum lebar. “Ayo kak cerita lagi!” pinta sang adik pada sang kakak.
“Biasanya ibu bercerita apa kalau kamu mau tidur?” tanya sang kakak penasaran. “Apakah cerita ibu lebih bagus dari cerita kakak?” tambahnya lagi bertanya.
“Cerita ibu juga bagus, ibu selalu bercerita kelinci-kelinci yang ibu miliki dulu, waktu ibu masih kecil. Tapi ibu selalu saja menyuruhku menghitung kelinci-kelinci yang ibu miliki.” Ujar sang adik yang memberi tahu sang kakak.
“Apakah kelinci-kelinci yang ibu ceritakan ada yang sakit, lalu kelinci itu disuntik oleh dokter?” Tanya sang kakak pada adiknya.
“Benar!!, kelinci itu langsung sehat setelah disuntik oleh dokter, Kak. Kata ibu, dokter itu sangat baik.” Ujar sang adik dengan raut wajah yang semangat.
“Benarkah?” tanya sang kakak dengan muka masam dan menelan ludah.
“Iya Kak, besok kalau Niva sudah besar, Niva mau jadi dokter biar bisa sembuhin orang sakit.” Ujar sang adik dengan wajah sangat gembira.
“Kenapa kamu nggak sembuhin kelinci-kelinci yang sakit?” Tanya sang kakak.
“Kata ibu, sembuhin orang sakit lebih baik.” Ujar sang adik. “Tapi kak, kenapa kak bisa tahu cerita ibu?” Tanya sang adik.
“Dulu waktu kakak masih kecil sepertimu, ibu juga sering bercerita kepada kakak.” Ujar sang kakak sambil tersenyum pada sang adik.
“Benarkah, apakah kakak juga selalu mengantuk jika menghitung kelinci-kelinci yang ibu miliki dulu?” tanya sang adik sambil menatap sang kakak.
“Benar Niva, kakak selalu bosan saat menghitung kelinci yang ibu miliki?” Jawab sang kakak sambil menguap, sampai membuat matanya berair.
“Kak!” panggil sang adik.
“Ya, Niva?” jawab sang kakak sambil melihat adiknya.
“Ternyata kakak juga bisa bercerita seperti ibu ya. Kirain Niva, kakak cuma bisa duduk di depan komputer dan membaca buku yang bertumpuk–tumpuk di meja kakak.” Ujar sang adik yang kagum pada kakaknya.
“Oh ya, apakah kamu sering melihatku sedang membaca buku?” Tanya sang kakak dengan bahagia.
“Ya!” jawab sang adik. “Tapi kak, apakah Niva bisa bercerita seperti kakak dan ibu?” tanya sang adik dengan memandang kakaknya serius.
“Ya, tentu saja. Kamu pasti bisa bercerita seperti kakak dan ibu.” Ucap sang kakak sambil memberi semangat pada sang adik.
“Tapi aku mau bercerita apa kak?” tanya sang adik memperlihatkan wajah bingung yang sangat polos dangan menempelkan telunjuknya di dagu.
“Hemm… kamu bisa bercerita, siapa saja yang kamu temui hari ini.” Ucap sang kakak.
“Aku…hari ini bertemu banyak orang kak. Di rumah mbok Imah banyak sekali orang yang aku temui.” Jawab sang adik dengan semangat.
“Oh…mbok imah ya.” ucap sang kak sambil memikirkan suatu hal. “Bisakah kamu ceritakan berapa orang yang kamu temui di rumah mbok imah.” Ucap sang kakak menyuruh adiknya.
Perlahan tapi pasti, gadis kecil itupun mulai tertidur dengan suara yang sedang menghitung, dan perlahan suaranya menghilang. Sang kakak pun memandangi adiknya dengan wajah yang bahagia, namun air mata sang kakak juga menetes. Tapi yang jelas itu adalah air mata kebahagiaan.
Hari pun mulai mendekati tengah malam. Terdengar pintu rumah ada yang mengetuk dari luar. Lalu pintu itu pun terbuka karena pintu rumah itu tidak dikunci. Masuklah seorang perempuan berjaket memakai jilbab dan menyangklong sebuah tas.
“Revan” ucap perempuan berjilbab itu memanggil anaknya.
Lalu keluar seorang laki-laki dari kamar dan menutup pintu kamar dengan sangat pelan.
“Iya bu, ada apa?” tanya laki-laki itu pada ibunya sambil menuju ke ruang makan.
“Apakah adikmu sudah tidur?” tanya ibu sambil meletakan jaket dan tasnya di atas meja.
“Sudah bu, baru saja Niva tidur.” ujar Revan kepada ibunya. “Lalu bagaimana dengan keadaan mbok imah bu, apakah beliau sudah membaik?” tanya Revan dengan membawakan segelas air minum hangat untuk ibunya.
“Ya, mbok imah membaik setelah anaknya sudah berkumpul semua.” Jawab sang ibu sambil menerima air hangat yang Revan bawakan.
“Heh… sudah kuduga, dokter-dokter itu hanya berbual saja menentukan umur manusia.” Ujar Revan menunjukan bahwa ia tidak suka terhadap dokter.
Sang ibu pun memandang Revan dengan wajah melas sambil duduk di sofa.
“Oh iya, bagaimana Niva bisa tidur?” Tanya sang ibu mengganti topik pembicaraan. “Biasanya dia tidak akan bisa tidur jika bukan ibu yang bercerita untuknya.”
“Sudah 2 jam lebih aku bercerita bu, bukannya mengantuk dia malah minta diceritakan lagi.” Ujar Revan terheran-heran.
“Haha.. seperti dirimu dulu, Niva juga sangat suka mendengarkan cerita.” Ujar sang ibu sambil tersenyum dan meletakan gelasnya. “Sepertinya Niva akan hobi membaca seperti dirimu, van.” Ucap sang ibu sambil memandang Revan dengan optimis.
“Benarkah?” tanya Revan yang duduk di samping ibunya.
“Tentu.” jawab sang ibu dengan yakin.
“Kalau begitu, apakah ibu bisa melakukan sesuatu untukku?” tanya Revan dengan tersenyum.
“Untuk apa, Revan?” ucap sang ibu balik bertanya dan memandang Revan dengan penasaran.
“Bisakah ibu menjaga Niva untukku?” minta Revan pada sang ibu.
“Tanpa kamu minta pun, ibu akan menjaganya Revannn!!!” ucap sang ibu sambil memegang kepala Revan dan mengacak-acak rambutnya yang tipis.
Revan dan ibunya pun mengobrol hingga benar-benar larut malam. Tak terasa, obrolan mereka di malam itu juga mengundang air mata yang membasahi pipi mereka. Yang pasti air mata itu adalah air mata bahagia walaupun hati mereka tak ikhlas.
EPISODE 2 “RASA INGIN TAHU NIVA”
Pagi yang cerah bagi seorang Niva. Gadis berjilbab sederhana dan menggunakan kacamata yang seolah membuktikan bahwa dirinya adalah gadis paling cantik diantara gadis-gadis di sekolahnya. Gadis berumur 17 tahun itu adalah siswi SMA kelas 2.
Sebuah kebiasaan yang tak pernah ia tinggalkan saat jam istirahat yaitu membaca sebuah buku. Di temani satu botol air minum dan duduk di antara teman-temannya yang mengobrol dengan asiknya. Ia tak sedikit pun merasa terganggu. Karena dia dan buku seperti sudah terhubung secara batin.
Ya, hobi gadis itu adalah membaca. Sudah tak terhitung berapa buku yang pernah ia baca. Dari sekian banyak buku yang ia baca ada beberapa buku yang sangat spesial bagi dirinya.
Yaitu ada 5 buku yang menurutnya spesial. Kelima buku tersebut Niva miliki ketika ia berumur 10 tahun. Dan buku-buku tersebut tidak lain adalah buku milik kakaknya.
Niva sangat mengistimewakan kelima buku tersebut karena kelima buku tersebut pernah dibaca dan sangat disukai oleh kakaknya. Selain itu, buku-buku tersebut adalah satu-satunya warisan dari kakak Niva yang bernama Revan.
Revan meninggal tepat 2 hari setelah mengobrol dengan Niva saat Niva masih berusia 5 tahun. Saat itu Niva belum mengerti apa arti dari sebuah kematian. Yang ia tahu dulu kakaknya yang pergi dan ditutupi rapat dengan kain putih, lalu kakaknya dibawa oleh banyak orang menuju kesuatu tempat yang Niva tidak ketahui.
Tapi kini Niva sudah menjadi seorang remaja yang sangat cerdas, bahkan melebihi kakaknya.
Di usianya yang sudah 17 tahun bahkan akan menginjak usia 18 tahun, Niva belum mengetahui apa sebab kakaknya meninggal.
Dan hal itulah yang membuat Niva mempunyai banyak pertanyan tentang kakaknya. Tapi ibu Niva selalu saja mengelak ketika Niva bertanya tentang kakaknya terutama tentang kamar kakaknya yang sama sekali belum pernah Niva masuki.
Tapi dari semua keanehan yang ia dapati itu, ada satu hal yang sangat mengganggu dirinya yaitu tentang kelima buku kakaknya itu.
Dari bnayak buku yang Niva baca, setiap buku selalu menyertakan biografi atau cuplikan tentang penulis bukunya. Tapi di kelima buku milik almarhum kakaknya itu, tidak ada satu kalimat pun tentang sang penulis.
Di buku itu hanya tertulis nama dari penulis kelima buku tersebut yaitu Art Naver. Saat Niva berusaha mencari tahu tentang penulis tersebut di internet tak satupun Niva menemukan profil dari penulis itu.
Niva sudah beberapa kali ingin menanyakan pada ibunya tentang siapakah penulis kelima buku itu, tapi Niva tidak berani. Karena ia takut ibu tidak mau memberitahunya dan malah mengelak lagi.
Tapi pada suatu malam tepatnya setelah makan malam bersama keluarga yang terdiri dari Niva, ibu dan ayah. Niva berusaha memberanikan diri untuk bertanya pada ibu dan ayahnya.
“Ibu…” ucap Niva memanggil ibunya dengan suaranya yang sangat lembut.
“Iya Niva, ada apa?” jawab sang ibu semabari membereskan meja makan. “Katakanlah!” tambah sang ibu yang membuat Niva sedikit kaget dan memandang ibunya.
“Apakah ibu tahu apa yang akan aku tanyakan?” tanya Niva lagi-lagi dengan suara lembutnya sambil melihat sang ibu dengan heran.
“Tidak!” jawab sang ibu dengan tersenyum. “Cepatlah bertanya sebelum ibu tertidur karena mendengar suaramu yang lembut itu.” ujar sang ibu meledek Niva yang membuat sang ayah tertawa.
“Kamu sudah besar Niva, bahkan besok pagi kamu sudah berumur 18 tahun. Jadi kamu tak perlu takut untuk bertanya, yakinlah dengan pertanyaanmu.” Ucap sang ayah kepada Niva sambil tersenyum.
Mendengar ucapan ayahnya Niva pun segera bertanya tentang siapa Art Naver.
“Apakah ayah dan ibu tahu siapakah Art Naver?” tanya Niva dengan terbata-bata. “Maksudku orang yang menulis kelima buku yang kakak wariskan padaku.” Ucap Niva memperjelas pertanyaannya.
Mendengar pertanyaan itu dari anak gadis mereka, ayah dan ibu hanya saling memandang. Ibu yang akan berjalan menuju dapur pun berhenti lalu kembali kemeja makan dan duduk di kursi tepat di samping Niva.
“Niva, ibu tidak begitu banyak tahu tentang apa yang dibaca oleh kakak mu dulu.” Ucap sang ibu dengan memandang mata Niva yang tertutupi oleh kacamata. “Apalagi tentang siapa itu Art Naver.” Ujar sang ibu sambil tersenyum dan memandang sang ayah.
“Apakah kamu sudah mencoba mencarinya di internet?” Tanya sang ayah pada Niva.
“Sudah ayah, tapi aku tak menemukan apapun tentang penulis itu.” Jawab Niva dengan nada kecewa. “Apakah mungkin kakak juga tidak tahu tentang penulis buku-buku itu.” Ucapnya dengan nada bingung.
“Niva, sebenarnya kakak mu, tidak hanya memberikan 5 buku itu saja.” Ujar sang ibu sambil menuju ke kamar kakak untuk mengambil sesuatu.
Saat keluar dari kamar sang kakak, ibu membawa sesuatu.
“Sebenarnya ini adalah kado ulang tahun mu ke 18 tahun dari kakakmu. Bahkan ia telah menyiapkanya khusus untukmu.” Ucap sang ibu sambil memberikan bingkisan yang berbentuk seperti buku. “Karena malam ini kamu masih berumur 17 tahun, ibu harap kamu membuka kado ini besok pagi, ketika kamu sudah berumur 18 tahun, Niva.” Ujar sang ibu sambil mencubit dagu Niva.
“Tapi bu, bagaimana mana mungkin kakak menyiapkan kado ini, kenapa seolah dia tahu bahwa dia akan pergi. Apakah kakak meninggal karena suatu penyakit?” Tanya Niva sambil meneteskan air.
“Dia hanya berpesan padaku, bahwa kamu akan mengetahuinya setelah membaca buku keenam yang ia miliki.” Ucap sang ibu yang berurai air mata.
“Kenapa ibu tidak mengataknya saja padaku sekarang?” tanya Niva sambil menangis tersedu-sedu.
“Tidak Niva, tidak! Itu semua permintaan kakakmu!” Jawab sang ibu sambil mengingat saat-saat Revan menitipkan kado untuk ulang tahun adiknya di masa depan.
Niva pun hanya memandangi kado dari kakaknya itu dan membasahinya dengan air mata.
Sang ayah yang melihat kedua perempuan itu menagis, lalu memeluk keduanya dengan sangat erat. Terlihat mata sang ayah memerah, namun sang ayah tak mampu untuk ikut menagis.
EPISODE TERAKHIR “BUKU TERAKHIR”
Pagi itu jam menunjukan pukul 4, seperti biasa Niva sudah pergi melangkahkan kaki bersiap untuk segera melaksanakan solat subuh.
Tak ada yang bisa menghalangi ataupun menggoda Niva saat akan melaksanakan sholat subuh. Bahkan rasa penasarannya terhadap kado dari almarhum kakaknya itu tidak dapat menggoyahkan niatnya untuk segera sholat subuh.
Setelah selesai sholat subuh biasanya Niva akan bergabung dengan ibunya di dapur. Tapi tidak untuk pagi itu. Memang Niva mampu menahan rasa penasaran tentang isi kado itu demi sholat. Tapi ia tidak mampu untuk menahan penasarannya hanya karena membantu ibu memasak. Karena ibu juga pasti akan memaklumi Niva.
Di kamarnya, Niva baru saja selesai bersih-bersih. Terlihat matanya selalu memandang ke bingkisan yang berwarna hijau itu. Dia pun mengambil bingkisan tersebut yang berada di dekat bantal tidurnya. Tangan yang lembut itu akhirnya memegang kado yang sejak semalam di basahi oleh air mata, dan sebentar lagi kado itu akan segera di buka.
Setelah memandangi kado itu cukup lama sambil menebak-nebak isinya, Niva pun segera membukanya, tapi membukanya pun ia tidak sembarangan. Niva tak ingin merusak sedikit pun kado dari kakaknya itu. Perlahan tapi pasti kado itupun terbuka dengan sempurna tanpa sebuah sobekan sedikit pun, walaupun ada itu hanya bekas menggunting saja.
Setelah terbuka, ternyata Niva justru tidak begitu kaget dengan isi kado itu karena Niva sudah menduga bahwa kado dari kakaknya itu adalah buku. Dan buku itu adalah buku ke-6 yang kakaknya berikan. Walaupun Niva sudah menduganya bahwa isinya buku tapi Niva tetap penasaran buku tentang apa itu.
Buku itu berjudul “Duri Kecil” dan tertulis juga nama penulis buku itu yang lagi-lagi penulisnya adalah Art Naver. Tanpa berpikir panjang Niva pun segera membaca buku itu.
Buku itu tidak jauh berbeda dari buku-buku sebelumnya. Tentu saja karena penulisnya masih sama. Di buku hadiah ulang tahun ke-18 Niva itu mengkisahkan seorang anak laki-laki yang bahagia bersama keluarganya. Namun kebahagian itu mulai pudar ketika anak kecil itu mengidap penyakit. Semua keluarganya hanya bisa pasrah. Anak kecil itu merasa bahwa dirinya adalah duri kecil yang hanya merepotkan keluarganya.
Setelah selesai membaca buku yang tak terlalu tebal itu tiba-tiba Niva menemukan sesuatau yang sebelumnya belum pernah ia temukan di 5 buku warisan kakak. Apakah itu? Tentu saja itu adalah tentang riwayat penulis. Di buku itu terdapat informasi tentang Art Naver.
Art Naver adalah julukanku sebagai penulis. Dari nama julukanku cukup kamu balik kata kedua, lalu tambahkan huruf “a” pada kata pertama maka itulah nama asliku. Hanya dari kamarku kamu akan tahu tentang diriku.
Setelah Niva membaca sedikit tentang Art Naver, Niva sadar selama ini buku yang ia baca, buku yang ia istimewakan dan buku warisan dari kakaknya itu tidak lain adalah karya dari kakaknya juga yaitu Revan yang bernama lengkap Arta Revan .
Niva terkejut dan tak pernah berpikir bahwa nama itu akan menjadi nama kakaknya jika di balik. Ia merasa dirinya terlalu terkecoh oleh karya kakaknya. Memang sebelumnya Niva hanya fokus mencari informasi tentang Art Navar tanpa berpikir ada sebuah teka-teki pada nama itu.
Karena teka-teki itu Niva benar-benar penasaran tentang kakaknya yang sudah menulis ke-6 buku itu. Ia ingin segera melihat kamar Revan dan ingin lebih tahu banyak tentang kakaknya itu.
Gadis itu tahu, kepada siapa dia harus bertanya kunci kamar kakaknya dan meminta izin untuk memasukinya. Ya, tentu saja kepada sang ibu.
“Ibu! Ibu!” kata yang terucap dari mulut Niva sambil berlari mencari ibunya.
Setelah menemukan ibunya yang sedang menjemur pakaian. Niva segera berlari dan memeluk sang ibu sambil membawa buku ke-6 milik kakaknya.
“Aku mohon bu! Izinkan aku masuk ke kamar kakak.” Ucap Niva sambil meneteskan air matanya, dan terdengar suara Niva yang lembut sambil menahan tangisnya.
“Apakah kamu sudah selesai membaca buku itu?” tanya sang ibu sambil melepas pelukan Niva dengan lembut dan memandang kacamata Niva yang basah karena air mata.
Niva pun hanya menganggukan kepalanya saja sambil tetep menahan tangis.
“Bawalah kunci ini dan jaga baik-baik!” ucap ibu sambil memberikan kunci kamar Revan. “Perlu kamu tahu Niva, ibu selalu membawa dan menjaga kunci ini kemana pun ibu pergi karena ibu tak mau mengecewakan kakakmu. Aku selalu melarangmu masuk ke kamar itu karena itu permintan Revan. Ia meminta agar kamu masuk setelah umur 18 tahun dan kamar itu juga adalah warisan darinya untukmu.” Ujar ibu sambil membayangkan Revan saat menitipkan kunci kamarnya.
“Satu lagi Niva, kamu boleh menggunakan apapun yang ada di kamar itu, tapi tolong…kamu harus mengembalikannya seperti posisi semula. Karena selama ini ibu hanya membersihkan kamar itu tanpa merubah posisi satu benda pun. Jadi biarkanlah kamar itu tetap seperti saat terakhir Revan meninggalkannya.” Ucap sang ibu sambil menahan tangisnya.
Niva yang mendengarkan penjelasan sang ibu langsung memeluk ibunya lagi.
“Mulai sekarang biarkan Niva yang merawat kamar kakak Revan bu.” Ujar Niva dengan tetap memeluk sang ibu dan sudah berhenti dari tangisannya.
Setelah itu Niva pun segera menuju ke kamar kakaknya. Kamar yang selama ini hanya pintu saja yang dapat ia lihat, tapi kini ia akan memasuki dan mengetahui segala isinya. Ia berharap akan mengenal kakaknya lebih jauh lagi setelah mengamati kamar itu.
Kini Niva sudah di depan pintu. Perasaannya campur aduk, dan ia bingung untuk mengekspresikannya. Kali ini Niva sudah berhasil membuka pintu kamar itu. Saat membuka pintu itu Niva mendengarkan suara.
Suara itu adalah suara pintu yang sudah tua. Walaupun pintu itu sebenarnya masih terlihat bagus.
Saat Niva mengalihkan perhatiannya dari pintu yang bersuara itu, ia benar-benar dikagetkan dengan kamar kakaknya walaupun ia belum menyalakan lampu di kamar itu. Dalam kegelapan kamar itu Niva dapat melihat lemari besar yang terbuat dari kayu dan pintu lemari itu terbuat dari kaca. Niva menduga itu adalah tempat untuk menempatkan buku-buku milik kakaknya.
Setelah Niva menyalakan lampu kamar kakaknya. Niva tahu dugaannya itu benar, tapi jumlah buku di lemari itu benar-benar di luar dugaan Niva karena di lemari besar itu banyak sekali buku dan lebih banyak dari yang pernah ia baca. Niva pun segera mengamati lemari berisi buku tersebut.
Setelah mengamati lemari itu, tiba-tiba Niva penasaran dengan bagian pojok dari kamar kakaknya yang tepat bersebelahan dengan lemari buku. Ya, di pojok kamar itu terdapat komputer jadul yang tidak lain adalah komputer yang dulu digunakan oleh kakak Niva. Niva pun menuju ke komputer itu.
Saat mengamati komputer itu, tiba-tiba Niva melihat hal yang lebih menarik lagi. Terlihat ada peralatan menulis yang sangat lengkap yang di tempatkan di keranjang kecil. Di samping keranjang peralatan menulis itu terdapat sebuah buku. Di sampul buku tersebut terdapat tulisan “Buku terakhir”.
Dengan ragu-ragu Niva berniat membuka buku itu. Saat ia menyentuh buku itu tiba-tiba Niva teringat pesan ibunya bahwa ia harus mengembalikan posisi benda apapun yang digunakan olehnya ke posisi semula. Karena hal itu, Niva pun mengamati dan berusaha mengingat-ingat posisi buku itu sebelum ia membukanya.
Setelah itu ia segera membuka sampul buku berwarna putih tersebut. Terdapat tulisan tangan di balik sampulnya.
AssalamualaikumHai Niva, kakak harap kamu membaca tulisan ini saat kamu berusia 18 tahun. Aku yakin di usiamu yang ke-18 tahun kamu adalah seorang gadis yang sangat cantik dan aku juga yakin kamu pasti paling cantik dia antara teman-temanmu. Karena aku tahu dari kecil kamu memang cantik Niva.
Ibu berkata padaku bahwa kamu mirip denganku, dan kamu akan suka membaca sepertiku. Aku sangat senang saat ibu berkata seperti itu. Dan aku berharap kamu juga bisa menjadi dokter seperti yang kamu inginkan. Walaupun aku sendiri sangat tidak menyukai dokter. Tapi setelah kamu mengatakan ingin menjadi dokter, mulai saat itu aku berusaha menyukai dokter, Niva.
Maafkan aku Niva, aku tak bisa mendampingi masa pertumbuhanmu. Aku menderita kanker otak stadium akhir. Dan aku divonis akan segera meninggalkan dunia oleh dokter yang seenaknya sendiri menentukan hidupku.
Aku benar-benar tak percaya lagi pada dokter ketika mbok Imah sembuh selayaknya ketika beliau sehat setalah anak-anaknya menjengung beliau. Padahal mbok Imah sudah diperkirakan akan meninggal dalam jangka waktu 8 jam oleh dokter.
Tapi perkiraan dokter-dokter itu juga tidak sepenuhnya salah karena ketika mbok Imah selesai membagi harta warisan kepada anak-anaknya beliau akhirnya meninggal dunia. Dan saat itu juga aku tak lagi menganggap remeh vonis dari dokter untuk diriku.
Belajar dari mbok Imah, aku pun memanfaatkan sisa hidupku untuk menyiapkan kado ulang tahun ke-18 mu. Dan maaf, aku hanya bisa memberikanmu ke-6 buku dan kamarku itu sebagai kado atau bisa juga kamu sebut sebagai warisan. Dan buku ini adalah buku ketujuku atau buku terakhirku yang aku wariskan padamu juga. Karena ketuju buku karyaku adalah salah satu hartaku yang sangat berharga setelah dirimu, ayah dan ibu.
Dan titip salamku untuk ayah dan ibu, terima kasih telah memenuhi permintaan-permintaan terakhirku.
Selamat ulang tahun ke 18 Arta Niva, aku akan selalu menyayangimu sama seperti saat kamu masih kecil.
Wassalamualaikum.Salam terakhirArta Revan
Tak ada yang bisa dilakukan oleh Niva selain menagis dan menagis. Dia hanya terduduk lemas di kasur sang kakak dan tak pernah menyangka sang kakak akan meninggalkan pesan yang jauh-jauh hari di siapkan khusus untuk dirinya.
Niva pun berusaha untuk membaca buku terakhir kakaknya itu. Dengan menangis tersedu-sedu ia tetap membacanya dan membasahi tiap halaman buku itu dengan air mata.
Buku terakhir yang ditulis kakaknya itu bercerita tentang hari-hari terakhir sang kakak bersama Niva yang masih kecil.
Sejak saat itu Niva menganggap kakaknya sebagai penulis terhebat karena mampu merancang sebuah masa depan.
SELESAI
Posting Komentar untuk "Kakak Sang Perancang Masa Depan"