Matahari Itulah yang Pantas Diperjuangkan
Cover Cerpen Matahari Itulah yang Pantas Diperjuangkan |
Mentari menyala dan menampakan cahayanya di pagi yang sangat indah bagi seorang Lisna, gadis cantik jelita berambut panjang dan berwarna hitam mengkilat.
Terlihat gadis itu sedang membersihkan kamar di kosannya.
“Kring…kring…kring...” Terdengar suara dari hp yang berdering keras di atas meja. Yang membuat Lisna seorang mahasiswi matematika terusik untuk segera mengangkatnya.
“Ya.. halloo.” Sahut Lisna yang mengangkat telepon itu.
“Lisna, bagimana kabar kamu, nak?” terdengar sebuah pertanyaan dari seorang wanita yang berbicara di dalam telepon itu, yang tidak lain adalah ibunya Lisna.
“Kabar Lisna baik bu, kabar ibu sendiri bagimana?” jawab Lisna dengan nada senang dan balas bertanya kepada ibunya.
“Kabar ibu baik juga nak” jawab sang ibu. “Kamu kenapa minggu kemarin tidak menelpon ibu sama sekali? ibu khawatir, terjadi sesuatu padamu.” Ujar ibu Lisna dengan suara melas.
“Gak ada apa-apa bu, Lisna hanya istirahat saja, soalnya minggu kemarin Lisna juga baru selesai mengikuti lomba matematika antar kelas jurusan matematika.” Jawab Lisna sambil berdiri dengan mengambil sebuah foto yang dibingkai berwarna merah muda di atas meja.
“Jadi bener kata Susi, kamu dapat juara lomba matematika?” tanya ibu dengan nada senang.
“Iya bu, timku jadi juara antar kelas matematika.” Jawab Lisna dengan tersenyum bahagia dengan memandang foto yang dia pegang itu.
“Tapi kata Susi setelah lomba itu kamu kurang fokus belajarnya, apa kamu kelelahan atau sakit?” tanya ibu semakin mendetail.
“Nggak bu, Lisna sehat kok.” Jawab Lisna sambil duduk di kasur lalu merebahkan tubuhnya dan tetep melihat foto yang ia pegang.
“Ya sudah deh, kalau begitu ibu mau lanjutin masak. Belajar yang bener ya nak, jaga kesehatanmu baik-baik.” Nasihat sang ibu yang terburu-buru. “Oh iya, nanti kalau uang bulanan kamu sudah habis cepet kabarin ibu atau bapak ya. Kamu jangan pinjam-pinjam uang ketemen atau saudara ya.” Tambah sang ibu.
“Iya bu,” jawab Lisna dengan senyuman manisnya dan mencium hpnya yang menandakan selesainya percakapan di telepon dengan ibunya.
Lisna pun kembali melihat foto yang ia pegang itu. Foto yang terdapat dirinya sedang membawa piala bersama seorang lelaki. Lelaki itu adalah rekan satu tim Lisna saat lomba matematika. Dan lelaki itu juga satu kelas dengan Lisna.
Nama laki-laki itu adalah Brian, diam-diam Lisna menaruh perasaan padanya. Tepatnya setelah lomba matematika antar kelas itu. Dari lomba itu, Lisna baru tertarik pada Brian padahal sudah 2 semester Lisna satu kelas dengan Brian. Semua itu karena sebelumnya Lisna dan teman-temanya mengenal Brian hanya sebagai seorang lelaki yang dikenal sangat primitif dan tertutup untuk bergaul dengan perempuan.
Namun setelah lomba itu Lisna mengenal Brian sebagai lelaki yang sangat lemah lembut dan ramah terhadap perempuan. Jauh berbeda dari Brian yang selama ini Lisna dan teman-temanya kenal.
Di sisi lain Brian memang terkenal sebagai lelaki primitif oleh teman-temanya. Brian tak pernah sekalipun mempunyai seorang pacar karena memang dia berprinsip untuk tidak pacaran dan bahkan dia sangat jarang sekali dekat dengan seorang perempuan.
Brian sendiri adalah pemuda yang berasal dari kampung, merantau ke kota untuk bekerja dan meneruskan sekolahnya sekaligus membantu membiayai kehidupan keluarganya di kampung.
Keberangkatannya ke kota tak lepas dari perjuangan orang tuanya karena ongkos untuk ke kota besar tidaklah sedikit. Oleh karena itu, dia tidak pernah main-main dalam kuliah ataupun bekerja.
Tapi seperti halnya Lisna, Brian pun merasa ada yang berbeda setelah lomba matematika antar kelas itu. Brian merasa ada hal baru yang membuat perasaannya menjadi senang jika dekat dengan Lisna. Jelas Brian tak begitu paham terhadap perasaanya itu karena memang sebelumnya dia tak pernah dekat dengan seorang perempuan.
Berbeda dengan Lisna yang sudah pernah pacaran dan mempunyai dua mantan pacar sejak SMA. Tentu saja Lisna lebih memahami tentang perasaan cinta. Dibandingkan Brian yang memang tak mempunyai pengalaman dalam hal asmara.
Tapi Brian justru khawatir dengan apa yang ia rasakan terhadap Lisna. Karena ia takut perasaan yang menyenangkan hatinya itu akan mengoyah prinsipnya yang tidak akan pernah pacaran.
Namun sejak awal pembentukan tim untuk lomba itu, memang Brian sudah mempunyai firasat bahwa prinsipnya itu akan goyah. Ditambah lagi teman-temannya selalu berpendapat jika dia dan Lisna sangat serasi jika dijadikan satu tim karena memang dia dan Lisna sama-sama pintar dalam belajar di kelas.
Hingga pada suatu pagi menjelang siang yaitu tepat pukul 10 pagi waktu jam kuliah masuk. Lisna dan Brian bertemu di depan kelas.
Saat bertemu walaupun hanya berpapasan, perasaan Lisna sangatlah senang, namun ia mencoba untuk tidak mengungkapkan perasaaanya itu, ia hanya bisa memperhatikan Brian yang lebih dulu masuk kelas. Sedangkan Brian sendiri hanya mencoba menyapa dengan senyuman sambil memandang Lisna sebentar lalu membuang muka.
Terlihat di wajah Brian masih kuat memegang prinsipnya. Namun sebenarnya dalam hati Brian bergejolak rasa yang belum pernah ia rasakan kepada perempuan mana pun.
Namun Brian hanya bisa menundukan kepalanya dan menahan rasa tersebut.
Sepanjang pelajaran berlangsung, tak henti-hentinya mata Lisna mencuri pandangan terhadap Brian. Hal itu pun membuat teman-teman Brian curiga dan menduga-duga bahwa Lisna menyukai Brian.
Jam Istirahat pun datang dan saat itu juga Brian tak henti-hentinya mendapat nasihat tentang asmara dari teman-temannya, Brian pun hanya diam dan sesekali tersenyum mendengarkan teman-temannya berbicara.
Walaupun terlihat cuek dan tak perduli sesungguhnya ia sangat terpengaruh nasihat dari teman-temannya itu. Brian pun mulai menerima dan mencoba mengerti perasaannya itu.
Lisna pun tak kalah sibuk dengan perasaannya, ia terus mencari tahu tentang laki-laki yang ia sukai itu, dari mencari profil facebook Brian dan mengamati setiap kronologi facebooknya. Bahkan Lisna diam-diam mengikuti setiap media sosial yang di gunakan Brian.
Namun Brian bukanlah orang primitif dalam teknologi. Bahkan tak perlu waktu lama untuk Brian sadar kalau Lisna diam-diam aktif mengikutinya dari media sosial. Brian pun cukup heran dengan Lisna, mengapa Lisna mau mengamati dirinya hingga seperti itu. Bahkan Lisna selalu menyukai kiriman yang Brian bagikan di media sosial, terkadang Lisna juga berkomentar jika Brian berbagi kiriman yang membahas pelajaran kuliah di media sosial.
Karena prilaku Lisna yang seperti itu, terlintas di pikiran Brian.
“Bernarkah ia suka padaku? Tapi apakah aku harus menerima perasaan yang seperti ini?”
Setelah Brian yakin bahwa Lisna suka padanya. Brian pun perlahan dan sedikit demi sedikit membuka perasaannya untuk Lisna.
Hal itu terbukti, karena semakin hari Brian mulai mau berbicara, menjawab dan membalas pandangan maupun sapaan dari Lisna yang selalu hadir di setiap mereka bertemu. Lisna pun sadar bahwa Brian mulai membuka kesempatan untuk dekat dengannya.
Semakin dekat dengan Brian Lisna semakin tak kuat membendung perasaannya yang meletup-letup di dalam hati. Apalah daya Lisna yang tak bisa berharap banyak karena memang Brian belum pernah pacaran jadi Lisna pun memaklumi kalau perasaanya itu seperti jemuran yang tak kunjung diangkat.
Sedangkan Brian hanya bisa merasakan gelisah karena perasaannya semakin menjadi-jadi. Dan ia tak tahu harus melakukan apa, walaupun sudah beribu kali ia diberi tips oleh teman-temanya.
Sedangkan prinsip Brian pun semakin lama semakin pudar dengan sendirinya karena perasaan asmaranya yang kini semakin dominan dan membuat dirinya benar-benar lupa diri.
Akhirnya kedua orang yang sedang kasmaran itupun mempunyai pikiran yang sama walaupun mereka tak pernah sekali pun membicarakannya.
Lisna berfikir untuk mengungkapkan perasaannya itu kepada lelaki yang kini benar-benar ia cintai, walaupun ia tahu itu akan sangat beresiko berat untuk dirinya sebagai perempuan. Ia berpikir itu lebih baik dari pada ia digantung dengan ketidak jelasan oleh pemuda yang baru belajar asmara itu.
Brian pun tak jauh berbeda. Ia berfikir untuk memulai hal yang benar-benar asing baginya. Mungkin ia bisa mengungkapkan rasa cinta pada keluarganya beribu kali.
Namun mengungkapkan perasaan kepada seorang perempuan itu adalah hal yang sangat ekstrim baginya. Tapi hatinya sudah tak tahan lagi, sumbu kesabaran hatinya sudah mulai terbakar habis. Dia takkan bisa menutupi ataupun menahan ledakan hatinya itu nanti.
Hari Jumat, saat jam pulang kuliah pukul setengah 4 sore tepat di depan gerbang, berdirilah Brian dengan penuh keyakinan ingin menghadang Lisna dan ingin memberitahukan sesuatu.
Namun apalah daya Brian dia tak pernah sekali pun menghadang seorang perempuan untuk berbicara padanya. Akhirnya dia hanya berdiri dengan kepala tertunduk dan sesekali menoleh mencari perempuan yang akan ia ajak bicara itu.
“Mas Brian, ngapain disini?” terdengar suara lembut dan khas seorang Lisna yang bertanya dan berdiri disamping Brian yang masih tertunduk memikirkan sesuatu.
“Oh..? mbk Lisna.” Jawab Brian sedikit kaget dan menoleh ke arah Lisna yang menatapnya aneh.
“Kebetulan sekali mbk, aku mau menyalin pembahasan materi kedua yang hari ini, boleh enggak ya, aku pinjam catatannya?” tanyanya dengan nada khas Brian yang kalem. “Soalnya, tadi aku kurang fokus mencatat materinya. Kalau mbk mengizinkan, aku mau pinjam 1 jam saja.” Jelas Brian untuk menyakinkan Lisna.
“Oh.. bisa, tapi bukannya kelas sudah ditutup, dan kantin juga masih ramai sekali.” Ujar Lisna sambil mengambil buku dengan agak salah tingkah mendengar permintaan lelaki yang ia cintai itu.
“Memang mas Brian mau mencatat dimana?” tanya Lisna sambil memberikan bukunya.
“Oh, aku sih mencatatnya di taman deket sungai belakang kampus.” Jawab Brian sambil tersenyum dan menunjuk ke lokasi yang ia maksud. “Ok saya pinjam dulu ya, bukunya.” ujar Brian sambil berbalik arah meninggalkan Lisna.
“Mas Brian” Lisna memanggil Brian, dan Brian pun berhenti. ”Boleh nggak saya ikut, biar bukunya nanti bisa sekalian saya bawa pulang.” mintanya pada Brian.
“Oh.. boleh, tapi mbk Lisna mau nungguin sampai selesai” Jelasnya pada Lisna.
“Gpp mas, lagian masih sore.” Jawab Lisna dengan tenang. “Jika sampai esok pagi pun akan aku tunggu mas.” Ucap lisan dalam hati.
“Ok kalau begitu.” Jawab Brian dengan hati senang karena rencana dari teman-temanya berhasil dia lakukan.
Brian dan Lisna pun berjalan berdua menuju taman dekat sungai yang berada tepat di belakang kampus.
Namun karena Brian sebelumnya sama sekali belum pernah berjalan berdua dengan seorang perempuan. Brian pun berjalan lebih cepat dari Lisna seolah Brian tak mau berjalan sejajar dengan Lisna.
Dari belakang lisan pun hanya tersenyum melihat perilaku Brian yang benar-benar terlihat sebagai lelaki yang awam soal asmara.
Akhirnya perjalanan yang terasa sangat jauh bagi Brian berakhir. Mereka pun memutuskan untuk duduk di kursi panjang seperti pada umunnya di taman-taman.
Lisna pun duduk di kursi taman tersebut di bagian sebalah kiri.
“Mbk Lisna, tunggu di sini dulu ya” ujar Brian pergi menuju ke pedagang kaki lima untuk membeli air minum.
Brian pun datang membawa dua botol air minum. “Ini mbk air minumnya” Brian menawarkan air minum pada Lisna.
Lisna pun dengan sigap menjulurkan tangannya untuk menerima air minum yang ditawarkan Brian. Namun bukannya memberikan ke tangan Lisna, justru Brian menaruh air minum itu di atas kursi tepat di samping Lisna.
Sekejap muka Lisna pun menjadi agak masam. Lisna pun hanya tersenyum karena heran dengan kakunya sifat Brian. Tapi Lisna tetap memaklumi hal itu, karena dia tahu Brian memang awam tentang hal itu.
Brian pun mulai menyalin catatan milik Lisna. Waktu terus berjalan Brian pun hanya fokus menulis dan hanya sesekali bertanya beberapa tulisan yang tidak ia pahami.
Menurut Brian bertanya sesuatu yang ia tidak pahami itu adalah hal biasa, jadi dia tidak ragu untuk bertanya pada Lisna. Tapi untuk Lisna, menjawab pertanyaan dari lelaki yang ia sukai adalah hal yang sangat menyenangkan. Ya, Lisna sangat menikmati sore itu dengan hati bahagia karena bisa berdua dengan Brian.
Akhirnya Brian pun selesai menyalin catatan Lisna. Ia pun melihat jam tangannya. Tak terasa sudah pukul 5 sore.
Walaupun menulis hingga satu jam setengah, Brian tak sedikitpun merasa jenuh atau pun lelah. Brian heran mengapa satu jam setengah begitu cepat berlalu saat itu. Bahkan Lisna justru merasa sore itu terlalu singkat baginya.
Brian pun mulai membereskan samua bukunya dan buku Lisna. Dan Brian pun duduk di kursi itu di bagian sebelah kanan dengan buku di tumpuk di tengah kursi atau tepat di antara mereka berdua.
“Akhirnya selesai juga” ujar Brian dengan bernafas lega dan duduk bersandar di kursi sambil menatap ke atas langit.
Lisna pun hanya memperhatikan Brian. Terlintas di pikiran Lisna untuk mengungkapkan perasaannya.
“Apakah bener-benar harus aku yang mengungkapkannya terlebih dahulu.” Ujarnya dalam hati dan semakin dalam menatap Brian yang melihat ke arah langit.
Brian pun juga berfikir untuk mengungkapkan perasaannya pada Lisna, tapi keraguannya masih sangat tebal menyelimuti keputusan besar yang akan ia ambil itu.
Angin sepoi di sore itu pun berhebus menerpa mereka berdua dengan suara yang terdengar keras menandakan diam di antara mereka berdua. Karena angin sepoi itu juga rambut Lisna pun terurai dengan indahnya dan tampak menguning karena terkena sinar matahari.
“Bisakah aku berbicara sesuatu” di waktu yang bersaman meraka mengatakan kalimat tersebut dan otomatis memecah sepi di sore dengan langit yang mulai berwarna kuning itu.
“Oh.. silakan mas dulu” ucap Lisna menawarkan kepada Brian.
“Nggak mbk, mbk dulu saja” jawab Brian sambil membenahi cara duduknya dan meyakinka lisa untuk berbicara terlebih dahulu.
Karena Lisna sudah tak tahan memendam perasaannya, akhirnya Lisna berbicara terlebih dahulu. Lisna pun menarik nafas dalam-dalam dan menatap ke arah matahari yang mulai tertutupi oleh awan-awan tipis.
“Sebenarnya setelah lomba matematika antar kelas itu, entah mengapa aku…aku merasa nyaman jika dekat dengan mas,” ucap Lisna dengan lembut namun tegas. Dan tetap menatap langit yang menguning.
Mendengarkan hal itu Brian pun kaget namun dia berusaha tetap terlihat tenang, walau hatinya sudah berkecambuk dan perasaan yang campur aduk.
“Iya… setelah lomba itu, aku merasa ingin mengetahui semua tentangmu mas. Entah mengapa aku juga selalu ingin menyapamu, walaupun saat itu aku tahu mas hanya akan membalas sapaanku dengan membuang muka.
Dan aku senang sekali, ketika mas mulai mau berbicara, menjawab dan membalas sapaanku. Aku merasa mas sudah memberi kesempatan padaku untuk mendekat. Dan karena hal itu aku merasa seperti diberi sebuah hadiah atas semua perjuanganku selama ini.
Ya.. perjuanganku untuk bisa dekat denganmu, karena aku sangat mencintaimu mas!” Lisna pun mengungkapkan isi hatinya sejelas mungkin pada Brian. Dan setelah itu Lisna hanya tertunduk malu-malu dan berusaha menutupi wajahnya yang merah dengan rambut hitamnya itu. Dan dia juga berharap Brian mengerti apa yang ia maksud.
Setelah mendengarkan penjelasan lisan. Brian pun hanya diam dengan badannya yang merasa panas dingin, dan terlihat beberapa kali ia menelan ludahnya. Tapi Brian tidak begitu fokus dengan apa yang di maksud oleh Lisna. Ia malah teringat sesuatu saat Lisna mengatakan perjuangan.
Kata perjuangan yang diucapkan Lisna justru mengingatkan Brian kepada orang tuanya yang selalu berjuang untuk dirinya. Dia pun kembali teringat dengan prinsipnya untuk tidak pacaran. Ia juga teringat alasan mengapa dia memegang prinsip tersebut. Alasanya tidak lain adalah agar dia bisa fokus terhadap kebahagiaan keluarganya dan tidak hanya memikirkan kebahagiaan dirinya sendiri.
“Terima kasih mbk Lisna, sepertinya perasaanku pun juga begitu padamu.” Ucap Brian dengan nada kalem dan menoleh pada Lisna yang masih tertunduk malu.
Lisna yang mendengar ucapan Brian tersebut merasa kaget, ternyata cintanya terbalas. Hati Lisna begitu bahagia saat itu walaupun ia masih tetap tertunduk malu.
Dia pun mengingat saat ia menerima cinta dari pacarnya yang dulu. Tangannya dipegang dengan lembut dan mesra lalu dicium oleh pacarnya ketika Lisna menerima cinta dari pacarnya itu.
Lisna pun bertanya-tanya pada dirinya sendiri, apa yang akan dilakukan oleh Brian, setelah Brian mengakui perasaanya juga. Apakah Brian akan memegang tangannya atau memberinya sesuatu. Dan seperti itulah angan yang ada dalam pikiran Lisna.
“Tapi perjuangan mbk itu seharusnya bukan untuk diriku.” Ucap Brian ya sontak membuat Lisna menoleh ke arah Brian dan melihatnya dengan aneh.
“Lihatlah itu mbk!” ucap Brian sambil menunjuk matahari dan Lisna pun melihat ke arah matahari dangan perasaan bingung. “Iya itu…itu adalah matahari yang dengan perlahan mulai tenggelam. Walaupun perlahan, matahari itu pasti akan tenggelam. Seharusnya matahari itulah yang perlu mbk perjuangkan, bahkan tidak hanya mbk saja tapi aku juga harus memperjuangkan matahari yang akan tenggelam itu.” Ujar Brian yang semakin membuat bingung Lisna.
“Matahari yang perlahan tenggelam itu adalah orang tua kita mbk.” Jelas Brian, yang membuat Lisna kaget dan membuatnya ingat kepada ibu dan bapaknya.
“Orang tua kita berjuang membesarkan, mengawasi, melindungi, dan mendidik kita sejak kecil, selayaknya matahari menyinari dan menerangi bumi. Tapi pada saatnya nanti matahari itu akan tenggelam, dan matahari yang perlahan tenggelam itu adalah orang tua kita yang mulai menjadi tua.” Ucap Brian sambil menatap matahari yang mulai tertutup awan itu.
“Jadi, perjuangkanlah mataharimu yang perlahan tenggelam itu mbk. Merekalah yang pantas mbk perjuangkan.” ucap Brian pada Lisna sambil menatapnya.
Setelah mengerti maksud dari perkataan Brian, Lisna pun hanya diam dan mengingat kembali tentang masa-masa saat bersama orang tuanya. Air mata Lisna menetes, ia merasa mempunyai banyak kesalahan pada orang tuanya. Karena selama ini Lisna tidak terlalu memperhatikan kebahagiaan dan perjuangan orang tuanya. Padahal orang tuanya sangat memperhatikan kebahagiaan dirinya.
Perasaan Lisna yang tadinya bahagia karena cinta kini berubah menjadi kesedihan. Ia tak mampu berbicara lagi dia hanya terus menangis dengan tetap duduk di kursi taman itu bersama Brian.
“Maafkan aku mbk” ujar Brian yang terlihat khawatir pada Lisna dan ia merasa bersalah membuat Lisna menjadi sedih.
Mendengar Brian meminta maaf, Lisna pun hanya mengelengkan kepalanya memberi isyarat bahwa itu bukanlah salah Brian dan ia tetap menangis menundukan kepalanya.
Setelah tangisannya mereda, Lisna pun berkemas dan memasukan buku-buku yang berada di samping kanannya ke dalam tas. Brian pun hanya bisa memperhatikan Lisna yang akan meninggalkannya.
Lisna pun berdiri sambil mengusap air matanya. “Terima kasih mas Brian telah mengingatkan diriku.” Ucap Lisna dan mulai pergi meninggalkan Brian.
Brian pun hanya bisa diam melihat Lisna pergi meninggalkan dirinya. Walaupun Brian tahu bahwa bukunya ikut terbawa oleh Lisna. Tak mungkin Brian tega menghentikan Lisna yang sedang sedih, hanya karena bukunya yang ikut terbawa oleh Lisna.
Brian pun menghabiskan sore itu di taman dengan seorang diri dan ia masih merasa bersalah kepada Lisna. Tapi ada satu hal yang membuat Brian merasa lega.
“Hampir saja aku melupakan prinsip hidupku sendiri.” Ujar Brian yang tersenyum sambil melihat matahari yang mewarnai langit menjadi jingga.
Posting Komentar untuk "Matahari Itulah yang Pantas Diperjuangkan"