Hanya karena Lupa
Cover Cerpen Hanya karena Lupa |
Jam alarm yang menyala di atas meja bergetar seolah seperti gempa dan berbunyi keras seolah seperti ibu meneriaki Edi untuk segera bangun. Namun, Edi tetap saja susah untuk bangun.
Kira-kira seperti itulah gambaran Edi selama 5 hari ini. Semenjak dia bekerja untuk pertama kalinya seolah hidupnya berubah seperti kapal yang terbalik. Yang terlihat hanya kekacauan pada dirinya.
Sudah 5 hari juga Edi bekerja sebagai petugas kebersihan di sebuah bank. Dan dia tinggal di kos-kosan yang tak jauh dari tempat kerjanya itu.
Banyak hal yang berubah dari Edi, yang dulu sering bermalas-malasan kini dia dituntut untuk benar-benar mandiri.
Dan selama 5 hari itu, dia berangkat bekerja dengan terburu-buru. Banyak sekali kebiasan baik yang dia lupakan ketika dia masih di rumah dulu.
Berjalan tergesa-gesa, tak memperhatikan sebelah kanan atau sebelah kirinya. Yang dia lihat hanyalah detik jarum jam yang berada di lengan kirinya itu, yang seolah seperti bom yang akan segera meledak.
Rambut kusut, muka bak gorengan baru di angkat, baju seperti baru di kunyah oleh kambing adalah tampilan Edi saat itu. Mungkin saat itulah masa-masa terburuk dari hidup Edi.
Beruntung dia cukup cekatan dalam bekerja, jadi kekacauan pada dirinya itu tidak terlalu terlihat.
Satu hari yang melelahkan akhirnya akan berakhir. Tak terasa jam menunjukan pukul 4 sore. Sekacau-kacaunya Edi adalah saat jam pulang kerja.
Berbeda seperti saat berangkat bekerja, saat pulang kerja Edi berjalan sempoyongan, merasakan letihnya bekerja.
Namun, selama 5 hari ini setiap dia pulang kerja, ada satu hal yang menarik perhatian pemuda kacau ini.
Saking menariknya, dia selalu memandangi, memperhatikan, dan mengamati dari kejauhan. Namun, menariknya hanya di mata Edi saja, di mata orang lain itu hanyalah rumah kosong yang terbengkalai.
Iya, rumah itu adalah rumah kosong. Rumah yang desainnya moderen itu tampak dipenuhi dengan semak-semak belukar yang tumbuh liar.
Edi selalu bingung saat melewati rumah itu, kadang dia sesekali berhenti untuk lebih lama mengamati rumah itu.
Dia memperhatikan dari ujung atap, pintu, lantai teras, jendela kaca dan gerbang bagasi yang bahan kayu.
Tapi dari pengamatannya itu, dia belum mengerti apa yang menarik dari rumah yang dia amati itu.
Dia juga sempat beberapa kali bertanya kepada orang-orang di sekitar rumah itu, kenapa rumah itu di tinggalkan dan dibiarkan kosong.
Namun, Edi hanya mendapatkan jawaban yang sama, yaitu tidak ada yang tahu tentang rumah itu.
Karena di daerah tersebut jarang sekali terjadinya interaksi atau sosialisai antar tetangga, jadi wajar jika tidak ada yang tahu riwayat dari rumah itu.
Keesokan harinya, seperti biasa Edi berangkat kerja dengan terburu-terburu lagi, dan hari ini dia benar-benar kesiangan.
Suasana berangkat siang sangat berbeda, banyak sekali debu di sepanjang jalan yang dia lewati.
Sesampainya di kantor, seperti biasa dia langsung membersihkan dan membereskan pekerjaannya satu persatu.
Entah apa dan darimana, tiba-tiba ada hal aneh mengusik perhatian Edi saat membersihkan kaca.
Dia pun sejenak menghentikan tangannya untuk mengelap kaca yang dia bersihkan.
Kaca yang dia bersihkan itu sebelumnya kotor karena debu, padahal baru kemarin dia bersihkan.
Lalu Edi meneruskan kembali membersihkan kacanya dengan sambil memikirkan hal aneh yang tiba-tiba datang.
Setelah bersih, Edi mundur beberapa langkah untuk mengecek sudah bersihkah kaca yang dia bersihkan itu.
Tiba-tiba terlintas di pikiranya dan terucap seponton dari mulutnya
“Nah, sudah bersih seperti kaca di rumah itu.”
Edi kaget dengan ucapanya tersebut sambil menutup mulutnya dan dengan mata yang tak tenang.
Lalu dia melihat ke lantai yang baru saja dia bersihkan juga.
Akhirnya iya menemukan ke aneh yang dia bingungkan selama ini tentang rumah kosong itu. Muncul banyak pertanyaan di benaknya.
“Kenapa kaca rumah itu bersih sekali, padahal banyak debu di sekitar rumah itu.. kok bisa bersih seperti di lap setiap hari.” ujar sambil membayangkan rumah yang 5 hari terakhir dia amati itu.
“Dan kenapa lantai teras rumah itu juga bersih seperti di bersihkan setiap hari.”
Kebingungan itu membuatnya selalu berpikir sambil melamun.
Tak terasa jam menunjukan pukul 5 sore.
Edi pun bergegas pulang dengan badan yang letih dan kali ini dia benar–benar terlambat pulang.
Di jalan pun Edi masih memikirkan tentang keanehan rumah itu.
Edi pun berlari bergegas ingin mengamati rumah itu lagi.Setelah sampai, dia langsung memperhatikan lantai teras dan kaca rumah itu.
“Iya…. iya….. aku tidak salah, kaca rumah itu bersih seperti kaca kantor yang aku bersihkan dan lantainya juga bersih…” ujar edi sambil menunjuk-nunjuk kearah rumah kosong itu.
“Tapi siapa yang membersihkan rumah itu, rumah itukan tidak berpenghuni.” Ucap Edi mulai penasaran.
Lalu dia coba bertanya pada tetangga sebelah dari rumah kosong itu.
“Pak apakah rumah itu di bersihkan oleh seseorang…?” tanya edi pada tetangga rumah kosong itu.
“Tidak, tak ada yang pernah masuk kesana, apalagi… membersihkannya”
“Kalau memang ada yang membersihkannya kenapa… tidak dibersihkan semua..”
Penasaran Edi semakin memuncak, dia benar-benar ingin tau apa isi rumah itu dan mengapa kaca serta lantai terasnya selalu bersih padahal sama sekali tidak di urus.
Edi pun menatap langit yang berwarna jingga di sebelah barat. Yang menandakan malam yang sudah mendekat dengan kegelapannya.
Akhirnya Edi pun memutuskan untuk menyerah pada rasa penasaranya.
Edi akhirnya masuk ke halaman rumah kosong itu, langkahnya sangat yakin saat menginjak rumput yang tumbuh liar, yang tingginya hampir menutupi lututnya.
Kedatangan Edi mengusik penghuni rerumptan itu. Belalang-belalang melompat menjauh dari dirinya.
Setelah melewati hamparan rumput lebat, Edi di hadapkan dengan teras.
Teras yang lebarnya tak lebih dari 3 meter persegi itu berlantaikan granit berwarna putih dan warna hitam disetiap sisi teras.
Sama seperti pengamatan Edi dari kejauhan, lantai teras itu bersih seperti baru saja dibersihkan.
Edi berusaha mencopot sepatunya agar dia bisa naik ke teras itu tanpa mengotorinya.
Walaupun dia sendiri belum tahu siapa yang membersihkannya, tapi menurutnya menghargai kebersihan adalah prinsip utamanya karena dia sendiri adalah petugas kebersihan.
Setelah mencopot sepatu dan tak lupa kaus kakinya juga, dia pun menginjakan kakinya ke lantai teras itu.
Telapak kakinya merasakan hal aneh. Di sore yang sehangat ini, teras itu terasa sangat dingin hingga terasa sampai ke ubun-ubun.
Namun, hal itu tak menghalangi langkah kaki Edi. Dia pun melanjutkan pengamatannya.
Kaca yang dia amati juga bersih seperti yang dia lihat dari kejauhan tadi.
Terlihat ada sesuatu di kaca itu, tepatnya di balik kaca itu. Edi pun mendekat dan melihatnya baik-baik.
Ternyata gambar yang berbentuk seperti mata sebelah kiri.
Edi merasa agak was-was sambil menelan ludahnya yang terasa hangat itu.
Edi semakin fokus mengamati gambar mata tersebut.
Tapi tiba-tiba… mata itu.. mata itu…
Berkedip.
Sepontan.. Edi kaget dan mundur sambil terjatuh duduk.
Jantungnya… berdebar-debar dan terus berdebar, nafasnya berhembus tak tenang… dia pun kembali menelan ludahnya, namun ludahnya kali ini terasa dingin.
Belum selesai dengan keadaan yang sangat mengagetkan tersebut, tiba-tiba pintu di dekat jendela kaca itu terbuka.
Naman pintu itu tidak terbuka lebar, dan dari pintu itu muncul seseorang yang hanya menampakan kepala dan setengah badannya.
Orang itu adalah seorang kakek, kira-kira umur 70-an
Kakek itu hanya memandang kedepan dengan wajah keriputnya dan satu matanya berkedip-kedip.
“Siapa di sana ?” tanya kakek itu.
Edi pun masih diam, sambil mengamati kakek yang tidak menyadari keberadaannya itu.
Edi berusaha berdiri perlahan-lahan..
Tiba-tiba kakek itu mengeluarkan tongkat menggunakan tangan kanannya, lalu memukulkannya kelantai beberapa kali.
Lagi-lagi Edi terkaget.
“Mo…mo…hon maaf kek, saya kesini ha..ha..hanya ingin mengamati rumah ini…” ucap Edi terbata-bata.
“Ow… mendekatlah…” perintah kakek itu kepada Edi dengan matanya yang terus berkedip-kedip sebelah.
Edi berusaha medekat ke kakek berwajah keriput itu dengan sedikit was-was.
Kakek itu pun mengendus-enduskan hidung keriputnya kearah Edi.
“Kamu bau sabun..” ucap kakek itu sambil membuang nafasnya.
“Saya habis mencuci piring dikantor kek..” kata Edi kepada kakek itu.
“Ow.., jadi kamu pulang kerja.” ucap kakek itu sambil membalikan badan ke arah pintu.
“Masuk dan istirahatlah, dan juga lanjutkanlah pengamatanmu..” ucap kakek itu menawarkan Edi masuk dan kakek itu berjalan sambil memukul-mukulkan tongkatnya ke lantai.
Edi pun masuk mengikuti kakek itu sambil menutup pintu.
“Maaf ya.. di sini gelap…” ucap kakek sambil tersenyum pada Edi dan terlihat gigi putih rapi sang kakek.
Tapi Edi sadar itu seperti gigi milik pamannya, yang pamannya pernah beli di dokter gigi.
“Duduklah” ucap sang kakek menawarkan duduk kepada Edi di sofa yang terlihat hitam karena kegelapan.
“Ya… di rumah ini tak ada penerangan, haha kalaupun ada itu akan percuma, karena aku buta..” ujar kakek itu dengan tertawa ringan yang lagi-lagi menampakkan giginya.
“Ternyata benar dugaanku, kakek ini buta.” ujar Edi dalam hati.
“Kakek tinggal di sini sendiri..?” tanya Edi kepada kakek keriput itu.
“Iya…” jawab kakek itu sambil memandang kedepan khas orang buta.
“Lalu siapa yang membersihkan rumah ini hingga bersih sekali…?” tanya Edi dengan perlahan.
“Aku yang membersihkannya sendiri, apakah kamu orang baru disini…?” jawab kakek dan bertanya mengubah topik pembicaraan.
“Iya kek, saya baru disini.” jawab Edi sambil melihat keluar dan nampak semak-semak berwarna kemerah-merahan karena sinar matahari yang sebentar lagi meredup.
“Tapi kek, kenapa kakek tidak meminta tolong pada orang, untuk membersihkan semak-semak di halaman, agar terlihat bersih kek…?” tanya Edi sambil menyelipkan saran.
“Haha… ternyata kamu perduli sekali ya..” ucap kakek sambil tertawa.
“Tidak nak, semak-semak itu pemandangan yang sangat indah” jawab kakek sambil berhenti tertawa.
“Pemandangan…..??? apakah kakek bercanda…aaa…” ujar Edi sambil menoleh ke arah kakek dan saat itu juga Edi terdiam.
Edi melihat kakek menunduk dan sedikit tertawa kecil. Tiba-tiba mata yang berkedip-kedip dari tadi pun berhenti.
Edi tetap menatap kakek itu dengan bingung.
“Sebenarnya aku tidak sepenuhnya buta, satu mataku ada di kaca yang kau lihat tadi.” Ucap kakek dengan pelan dangan nafas tak stabil.
“A..a..ap…pppa… maksud kak….kakek..?” tanya Edi sedikit cemas dan menelan ludahnya yang terasa pahit.
Tiba-tiba… kakek keriput itu menatap Edi dengan 1 matanya yang kosong yaitu mata sebelah kiri.
Melihat hal itu, Edi sadar kalau mata kiri yang berkedip di kaca tadi adalah mata kakek itu.
Edi berencana berlari sejauh mungkin karena dia takut.
Namun celaka…
Celaka besar bagi Edi…
Belum sempat melangkah untuk berlari….
Gigi milik kakek yang dia kira palsu itu ternyata asli, dan sudah menggigit lengan kanannya.
“Aaaaaaaaa…… lepaskannnn….!!!!!!!!!” terik Edi histeris karena digigit oleh kakek yang bermata kosong sebelah dan memandangnya dengan wajah keriput yang berekspresi senyum jahat.
Tangan Edi terasa mulai nyeri dan kaku, Edi terus memberontak dari gigitan itu.
Wajah panik Edi benar-benar menggambarkan ketakutannya.
Dia pun memejamkan matanya dan masih merasakan digigit kakek itu.
Edi lalu membuka matanya, tiba-tiba Edi mulai terdiam secara perlahan dengan nafas terengah-engah.
“Huffffff ….. ternyata mimpi..” ujar Edi dalam keadaan masih tergeletak dengan tangan kanan tertimpah tubuhnya.
Dia pun bangkit dari posisinya dan duduk dengan merasakan nyeri dan kaku pada tangan kanannya karena keram.
Badannya sangat lemas, dan dia sadar bahwa di sedang dalam kegelapan.
Di segera mengambil hpnya dengan tangan kanannya yang masih keram itu.
Dia pun sedikit sok… karena jam di hpnya menunjukan pukul 12 malam.
“Dimana aku?” tanyanya dalam hati sambil menghidupkan senter untuk penerangan.
Lalu dia berdiri.
Saat itu dia berdiri tepat didepan jendela kaca dimana dia melihat mata kiri berkedip padanya.
Namun bedanya kaca itu sangat kotor, berbeda sekali dengan yang dia lihat ketika sore hari.
Lantai teras pun sangat kotor, dan terasa sekali di telapak kakinya.
Dia pun teringat sore itu dia melepas kaus kaki dan sepatunya namun sore itu lantainya bersih dan sekarang sangat kotor seperti tak pernah di bersihkan.
Edi pun segera pergi dari tempat itu, yang saat itu dia lihat bersih kini menjadi kumuh.
Saat dia sudah keluar dari halaman rumah kosong itu menenteng sepatu dan kaus kakinya dengan tangan kiri.
Dan tangan kanannya yang masih keram menggenggam hp.
Dia memandang rumah gelap yang baru saja dia tiduri itu.
“Ternyata aku dikerjai ya…” ucapnya sambil menggerutu.
Dia pun heran kenapa dia bisa-bisanya sampai di kerjai oleh hal-hal seperti itu.
Edi pun pulang dengan badan yang sangat letih dan kotor.
Sampai di depan kos-kosan dia pun di buat panik.
Pintu kosannya terbuka dan rusak.
Dan tergeletak 2 security di depan pintu itu.
Edi segera meletakkan sepatu dan kaus kakinya.
Dan lari menuju ke security itu.
“Pak bangun pak… paakkk, apa yang terjadi disini pak bicaralah..?”
Namun kedua security itu tak bangun, malah salah satu security mendengkur dengan keras.
Edi pun langsung masuk ke dalam kosannya.
Edi sangat kaget, dan lebih kaget daripada digigit oleh kakek keriput dirumah kosong itu.
Dia mendapati dapur kosannya penuh dengan warna hitam.
Ya warna hitam karena kebakaran.
Belum selesai dengan kagetnya, tiba-tiba pundak kanannya dipegang oleh seseorang dari belakang.
Edi tak berani menoleh dan dia kembali menelan air ludahnya yang entah rasa apa itu.
“Hei kenapa kamu malah tegang?” tegur seseorang tersebut.
“Huff… ternyata pak rt” ucap Edi dengan lega.
“Kemana saja kamu jam segini baru pulang?” tanya pak rt sambil menunjuk jam.
“Lihat badan kamu kotor sekali, abis mandi debu kamu ya…?!” ucap pak RT
Menunjuk badan Edi yang memang kotor karena penuh dengan debu dari rumah kosong itu.
“Pak rt apa yang terjadi pada dapur saya sampai kebakaran seperti ini?” Edi balik bertanya pada pak rt dengan nada sedih.
“Kompor gas kamu meledak, karena kompornya kelamaan hidup. Apakah kamu lupa mematikan kompor?” penjelasan dan tanya pak rt pada Edi.
“Tadi pagi saya berangkat kerja terburu-buru pak, jadi saya lupa mematikan kompor” ucap Edi dengan menepok jidatnya karena menyesal.
“Ya sudahlah…. sekarangkan sudah malam, kamu istirahat saja ini sudah jam 1 malam” ucap pak rt sambil pergi menjemput kedua security yang tertidur pulas di pintu depan yang rusak karena di dobrak untuk memadamkan kebakaran di dapur Edi.
Edi pun seger membereskan semuanya.
Esok paginya, Edi memulai hari dengan sedikit tenang.
Namun Edi masih terheran-heran dengan apa yang dia alami tadi malam.
Baik di rumah kosong dan apa yang terjadi di kosannya.
Edi merasa dirinya jauh dari ketenangan, seperti ada hal yang terlupakan.
Entahlah apa itu, Edi pun berangkat bekerja lagi dengan rasa letih di seluruh badannya.
Di perempatan jalan ada sebuah warung makan tepatnya 10 meter sebelum kantornya.
Di warung makan tersebut, duduk seorang anak dan ibunya.
Sejanak Edi memperhatikannya, tiba-tiba ibu itu memukul tangan anaknya yang akan melahap sebuah krupuk yang baru di sajikan oleh pelayan warung itu.
“Loh, kenapa?” tanya Edi di dalam hati dengan sedikit heran.
“Adeekkk gak boleh makan sebelum doa…. , doa… dulu baru makan…” ucap ibu itu pada anaknya sambil menaruh krupuk yang mau di makan anaknya tadi.
“Plakkk…” suara Edi menepok jidatnya dengan keras, hingga jidatnya terasa panas.
Edi pun menelan ludah sambil menghela nafas.
“Huffff…. pantas saja, ternyata selama ini aku lupa berdoa karena aku selalu terburu-buru.” ujar Edi sambil mulai berjalan menuju kantor dangan tangan masih berada di jidatnya.
Posting Komentar untuk "Hanya karena Lupa"